Shalat Dhuha, Shalat Orang yang Gemar Bertaubat

Semua hamba pasti mengharapkan agar mendapatkan cinta dan ridha Allah Ta’ala. Semua hamba pasti ingin mendapatkan kasih sayang Allah Ta’ala. Hanya saja, cinta dan kasih sayang Allah Ta’ala tidaklah bisa diraih oleh seorang hamba, kecuali jika ia telah memenuhi persyaratan-persyaratan yang ada serta melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Allah Ta’ala perintahkan.
Salah satu ibadah yang Allah jelaskan bahwa pelakunya berhak mendapatkan cinta dan kasih sayang Allah Ta’ala adalah bertaubat, yaitu ketika seorang hamba senantiasa kembali kepada Allah Ta’ala, mengakui kesalahan-kesalahannya dan berkeinginan kuat untuk tidak mengulangi kesalahannya tersebut. Allah Ta’ala berfirman,
اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
“Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqorah: 222)
Di antara karakteristik orang yang gemar bertaubat adalah semangat di dalam mengerjakan amal ketaatan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan bahwa shalat Dhuha merupakan salah satu amal ibadah yang biasa dilakukan dan menjadi tanda Al-Awwabin, orang-orang yang gemar bertaubat dan kembali kepada Allah Ta’ala. Di dalam salah satu haditsnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
صَلَاةُ الأوَّابِينَ إذَا رَمِضَتِ الفِصَالُ.
“Shalat awwabin adalah ketika anak unta merasakan terik matahari.” (HR. Muslim no. 748)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan menegaskan,
لا يحافِظُ علَى صلاةِ الضُّحى إلَّا أوَّابٌ
“Tidaklah seseorang itu (konsisten) menjaga shalat Dhuha, kecuali ia termasuk orang-orang yang gemar bertaubat (dan kembali kepada Allah Ta’ala).” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 1224 dan dihasankan oleh Syekh Albani dalam kitabnya, Shahih Al-Jami’ no. 7628)
Allah Ta’ala di dalam hadits qudsi juga menegaskan bahwa konsistennya seorang hamba di dalam melaksanakan amalan-amalan sunnah akan mendatangkan rasa cinta-Nya kepada hamba tersebut. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
“Hamba–Ku senantiasa mendekatkan diri kepada–Ku dengan amalan–amalan nafilah (sunnah) hingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhari no. 6502)
Saudaraku yang dirahmati Allah Ta’ala, marilah sejenak bersama-sama mengenal lebih jauh tentang sholat dhuha ini, shalatnya hamba-hamba yang gemar bertaubat kepada Allah Ta’ala.
Keutamaan Shalat Dhuha sangatlah banyak
Selain menjadi identitas orang-orang yang gemar bertaubat dan kembali kepada Allah Ta’ala, shalat Dhuha memiliki keutamaan lain yang begitu besar, di antaranya:
Pertama: Orang yang melaksanakannya, maka akan Allah Ta’ala cukupkan kebutuhan hidupnya.
Allah Ta’ala di dalam hadis qudsi berfirman,
ابنَ آدمَ اركعْ لي أربعَ ركَعاتٍ من أولِ النهارِ أكْفِكَ آخِرَه
“Wahai anak Adam, rukuklah (shalatlah) karena Aku pada awal siang (shalat Dhuha) empat rakaat, maka Aku akan mencukupi (kebutuhan)mu sampai sore hari.” (HR. Tirmidzi no. 475)
Kedua: Shalat Dhuha merupakan sedekah bagi yang melaksanakannya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يُصْبِحُ علَى كُلِّ سُلَامَى مِن أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّتَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٌ بالمَعروفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٌ عَنِ المُنْكَرِ صَدَقَةٌ، وَيُجْزِئُ مِن ذلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُما مِنَ الضُّحَى
“Setiap ruas dari anggota tubuh di antara kalian, pada pagi hari harus dikeluarkan sedekahnya. Setiap tasbih adalah sedekah. Setiap tahmid adalah sedekah. Setiap tahlil adalah sedekah. Setiap takbir adalah sedekah. Menyuruh kebaikan adalah sedekah. Dan mencegah kemungkaran adalah sedekah. Dan semua ini bisa dicukupi dengan melaksanakan shalat Dhuha sebanyak dua rakaat.” (HR. Muslim no. 720)
Ketiga: Pahala melaksanakannya setara dengan melaksanakan ibadah umrah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ مُتَطَهِّرًا إِلَى صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْحَاجِّ الْمُحْرِمِ وَمَنْ خَرَجَ إِلَى تَسْبِيحِ الضُّحَى لَا يَنْصِبُهُ إِلَّا إِيَّاهُ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْمُعْتَمِرِ وَصَلَاةٌ عَلَى أَثَرِ صَلَاةٍ لَا لَغْوَ بَيْنَهُمَا كِتَابٌ فِي عِلِّيِّينَ
“Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dalam keadaan suci untuk melaksanakan shalat wajib, maka pahalanya seperti pahala orang yang haji yang sedang ihram. Dan barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melaksanakan shalat Dhuha, dia tidak mempunyai niat kecuali itu, maka pahalanya seperti orang yang sedang umrah. Dan menunggu shalat hingga datang waktu shalat yang lain yang tidak ada main-main di antara keduanya, maka pahalanya ditulis di ‘Iliyyin.” (HR. Abu Dawud no. 558 dan Ahmad no. 22304, hadis ini dihasankan oleh Syekh Albani).
Keempat: Shalat Dhuha lebih mulia dari harta rampasan perang.
Di dalam sebuah hadis disebutkan,
بعَث رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم سَرِيَّةً فغنِموا وأَسرَعوا الرَّجعَةَ فتحَدَّث الناسُ بقُربِ مَغزاهم وكثرَةِ غَنيمَتِهم وسُرعَةِ رَجعَتِهم فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ألَا أدُلُّكم على أقرَبَ منه مَغزًى وأكثرَ غَنيمَةً وأَوشَكَ رَجعَةً مَن توَضَّأ ثم غَدا إلى المَسجِدِ لِسُبحَةِ الضُّحَى فهو أقرَبُ مَغزًى وأكثَرُغَنيمَةً وأَوشَكُ رَجعَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus pasukan perang kemudian pasukan itu mendapatkan harta rampasan dan pulang cepat. Maka, para sahabat banyak yang membicarakan tentang pasukan tersebut yang tujuannya dekat, rampasan perangnya banyak, dan cepat kembali.
Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Maukah kalian aku tunjukkan kepada yang lebih dekat tempat perangnya, lebih banyak harta rampasan perang, dan lebih cepat kembali?’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa yang berwudu kemudian berangkat ke masjid untuk melakukan shalat dhuha, maka itulah yang lebih dekat tempat perangnya, lebih banyak harta rampasan perangnya, dan lebih cepat kepulangannya.” (HR. Ahmad no. 6638 dan Thabrani no. 14684)
Waktu terbaik untuk melaksanakan shalat Dhuha
Waktu yang paling baik untuk melaksanakan shalat Dhuha adalah ketika matahari benar-benar telah meninggi dan panasnya mulai terasa, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
صَلَاةُ الأوَّابِينَ إذَا رَمِضَتِ الفِصَالُ.
“Shalat awwabin (shalat dhuha) adalah ketika anak unta merasakan terik matahari.” (HR. Muslim no. 748)
Para ulama memperkiraan bahwa waktunya adalah ketika telah berlalu seperempat siang, yaitu pertengahan waktu antara terbitnya matahari dan waktu salat zuhur sebagaimana perkataan Imam At-Thahawi rahimahullah,
وَوَقْتُهَا الْمُخْتَارُ إِذَا مَضَى رُبُعُ النَّهَارِ
“Waktu yang terpilih darinya (shalat Dhuha) adalah ketika telah berlalu seperempat siang.”
Jika di sebuah daerah matahari terbit jam 05.30 dan masuknya waktu dhuhur pada jam 11.40, maka waktu terbaik untuk melaksanakan shalat Dhuhanya adalah sekitar jam 08.30 sampai jam 09.00. Karena jam 08.30 sampai jam 09.00 adalah pertengahan waktu antara terbitnya matahari dan waktu sholat Dhuhur di daerah tersebut.
Beberapa hukum terkait shalat Dhuha yang harus kita ketahui
Pertama: Hukum melaksanakannya adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan), karena shalat ini termasuk salah satu wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya. Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
أَوْصَانِي حَبِيبِي – صلَّى اللهُ عليه وسلَّم – بِثَلَاثٍ، لَنْ أَدَعَهُنَّ مَا عِشْتُ: «بِصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَصَلَاةِ الضُّحَى، وَبِأَن لَا أَنَامَ حَتَّى أُوتِرَ
“Kekasihku (Rasulullah) shollallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan kepadaku tiga perkara yang tidak akan aku tinggalkan selama aku masih hidup: puasa tiga hari setiap bulan, shalat Dhuha, dan aku tidak tidur sehingga shalat witir terlebih dahulu.” (HR. Muslim no. 722)
Kedua: Jumlah rakaat minimalnya adalah 2 rakaat. Adapun jumlah maksimalnya, maka tidak ada batasannya. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syekh Binbaz dan Syekh Ibnu Utsaimin rahimahumallah. Sebagaimana wasiat Nabi kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang artinya,
“Kawan karibku (Rosulullah) shallallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan kepadaku tiga hal: puasa tiga hari pada setiap bulan, shalat dhuha dua rakaat, dan shalat witir sebelum tidur.” (HR. Muslim)
Pada hadits tersebut disebutkan bahwa jumlah rakaatnya adalah 2 rakaat, sedang tidak ada riwayat lain yang menyebutkan bahwasannya beliau shalat Dhuha kurang dari 2 rakaat.
Adapun dalil tidak ada batasan maksimal pada rakaatnya, maka itu adalah pertanyaan Muadzah Al-Adawiyyah rahimahallah kepada istri Nabi, Aisyah radhiyallahu ‘anha,
سألتُ عائشةَ أَكانَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ يصلِّي الضُّحى قالَت نعَم أربعًا ويزيدُ ما شاءَ اللَّهُ
“Aku bertanya kepada Aisyah, ‘Apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat Dhuha?’ Maka, ia pun menjawab, ‘Iya, 4 rokaat, lalu beliau menambahnya dengan jumlah yang tak terbatas.’” (HR. Muslim no. 719, An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra no. 479 dan Ibnu Majah no. 1381)
Ketiga: Jika shalatnya lebih dari 2 rakaat, maka yang lebih utama baginya adalah menjadikannya dua rakaat-dua rakaat; yaitu dengan melakukan salam di setiap dua rakaat. Dalilnya adalah sabda nabi,
صلاةُ الليلِ مَثْنَى مَثْنَى
“Shalat malam itu dua rakaat-dua rokaat.” (HR. Bukhari no. 472 dan Muslim no. 749).
Hadits di atas hanya menyebutkan perihal shalat sunnah malam, karena shalat sunnah lebih banyak dilakukan di malam hari. Hanya saja hukum dua rokaat-dua rakaat ini berlaku di malam hari dan juga di siang hari, sehingga shalat dhuha pun termasuk di dalamnya.
Sebagai kesimpulan, shalat dhuha adalah amalan yang ringan, namun dapat mendatangkan cinta Allah Ta’ala kepada kita. Amalan yang bisa kita selesaikan hanya dengan beberapa menit saja, namun akan menjadikan kita sebagai pribadi yang gemar bertaubat kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu, mari bersemangat untuk konsisten di dalam mengamalkannya. Sempatkanlah barang 5 menit untuk mengambil 2 rakaat dhuha ini.
Semoga Allah Ta’ala memberikan kita taufik untuk bisa terus menerus mengamalkannya, merebut ghanimah yang paling mulia. Semoga Allah Ta’ala menumbuhkan rasa cinta kita kepada ibadah yang mulia ini. Wallahu a’lam bisshowaab.