Dilema Tahdzir Serampangan Merusak Dakwah Islam

Di dalam menjalankan kewajiban berdakwah menuju kepada jalan Allah Ta’ala, para ulama’ pasti akan senantiasa menghadapi berbagai tantangan dan aral yang melintang. Dan diantara tantangan yang sering menghadang setiap derap langkah para dai kebenaran ialah adanya lawan dari sesama mereka, yaitu para pelaku kesesatan dan kebatilan. Dan karena hal ini adalah hal yang telah masyhur dan dirasakan oleh setiap dai yang menyerukan kebanaran, maka saya tidak merasa perlu untuk membuktikannya. Akan tetapi yang saya anggap perlu ialah mengingatkan diri saya dan kawan-kawan saya tentang hikmah dan manfaat adanya pertentangan ini. Sebab segala hal yang ada dan terjadi di dunia ini adalah bagian dari ciptaan Allah Ta’ala dan berjalan selaras dengan kehendak-Nya. Dengan demikian tidak mungkin semua itu terjadi dengan sia-sia, tanpa ada manfaat dan hikmahnya.
]وما خلقنا السماء والأرض وما بينهما لاعبين[ النبياء 16
“Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada diantara keduanya dengan bermain-main.” (Al Anbiya’ 16)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Ia menciptakan langit dan bumi dengan kebenaran, maksudnya dengan keadilan, agar Ia mengganjar orang yang berlaku buruk setimpal dengan apa yang mereka amalkan, dan membalas orang yang berlaku baik dengan balasan kebaikan pula. Sebagaimana Allah mengabarkan bahwa Ia tidaklah menciptakan semua itu dengan sia-sia dan juga tidak karena main-main.”([1])
Dan dalam ayat lain Allah berfirman:
]وما خلقنا السماء والأرض وما بينهما باطلا ذلك ظن الذين كفروا فويل للذين كفروا من النار[ ص 27
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah (sia-sia). Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk ke dalam neraka.” (Shaad 27) Sehingga tidaklah layak bagi seorang mukmin apalagi seorang dai untuk berkecil hati bila pada suatu saat menghadapi tantangan atau hambatan dalam menjalankan dan memperjuangkan kebenaran. Dan hendaknya adanya tantangan tersebut semakin menambah keimanan dan keyakinan kita kepada apa yang kita yakini dan perjuangkan, karena ini merupakan bukti bahwa Allah Ta’ala telah merahmati kita, sehingga kita dapat memilih jalan kebenaran dan terhindar dari kesesatan..
] ولو شاء ربك لجعل الناس أمة واحدة ولا يزالون مختلفين إلا من رحم ربك ولذلك خلقهم وتمت كلمة ربك لأملأن جهنم من الجنة والناس أجمعين[ هود 118-119
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia ummat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat (keputusan) Tuhanmu telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahnnam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.” (Hud 118-119). Adanya kekufuran dan keimanan di kehidupan dunia ini adalah salah satu bagian dari sunnatullah, sehingga dengan demikian akan terbukti bagi umat manusia bahwa Allah Ta’ala Maha Pengasih lagi Penyayang dan diwaktu yang sama Allah Maha pedih siksa-Nya.
Perseteruan antara kebenaran beserta pemeluknya melawan kebatilan beserta seluruh antek-anteknya bukanlah hal yang baru, akan tetapi merupakan sunnatullah yang telah dimulai semenjak manusia pertama yaitu Nabi Adam ‘alaihis salaam dan istrinya Hawa melawan nenek moyang pemuja kebatilan, yaitu Iblis la’natullah ‘alaihi :
]وقلنا اهبطوا بعضكم لبعض عدو[ البقرة 36.
“Turunlah kamu, sebahagian kamu menjadi musuh bagi yang lain”. (Al Baqarah 36). Sebagaimana Allah Ta’ala juga telah memperingatkan umat manusia agar senantiasa waspada dari tipu daya iblis dan pengikutnya:
] يا بني آدم لا يفتننكم الشيطان كما أخرج أبويكم من الجنة ينـزع عنهما لباسهما ليريهما سوءاتهما إنه يراكم هو وقبيله من حيث لا ترونهم إنا جعلنا الشياطين أولياء للذين لا يؤمنون[ الأعراف 27
“Wahai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat tertipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-peminpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (Al A’araf 27).
Diantara metode yang diajarkan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya kepada kaum mukminin dalam menghadapi kesesatan dan para pelakunya ialah metode tahzir, yaitu menyebutkan kesalahan dan kesesatan mereka agar masyarakat menyadari akan kesalahan dan jati diri mereka, sehingga mereka tidak terpengaruh dan terpedaya oleh berbagai propaganda dan manisnya perkataan mereka.
Untuk sedikit memberikan penjelasan kepada para pembaca tentang metode ini, saya akan sedikit sebutkan tentang beberapa dalil dan keterangan ulama’ Ahlis sunnah seputar permasalahan ini.([2])
Dalil-dalil disyari’atkannya tahzir:
Dalil Global:
Dengan kita merujuk berbagai dalil, baik dari Al Qur’an atau As Sunnah dan juga keterangan ulama’ Ahlis Sunnah, kita dapatkan bahwa upaya melindungi agama masyarakat dengan cara menyebutkan kesalahan pelaku bid’ah atau kemungkaran yang dirasa akan mempengaruhi mereka adalah suatu hal yang dibolehkan, dan bahkan tindakan ini termasuk salah satu bentuk pengingkaran terhadap kemungkaran, yaitu pengingkaran dengan lisan.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Bila seseorang menampakkan perbuatan dosa, seperti tindak kelaliman, perbuatan keji, dan berbagai amalan bid’ah yang jelas-jelas menyelisihi As Sunah, bila ia berani menampakkan kemungkarannya, maka wajib untuk mengingkarinya sekuat kemampuan kita, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
(من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان)
“Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya ia merubahnya dengan tangannya (kekuatannya), jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.”, riwayat Muslim.“([3])
Dalil Khusus :
Banyak sekali dalil-dalil, baik dari Al Qur’an atau As Sunnah yang menjelaskan akan bolehnya menyebutkan kesalahan seseorang yang dirasa akan mempengaruhi orang lain atau masyarakat luas. Diantara dalil-dalil tersebut ialah hadits-hadits berikut:
عن عائشة رضي الله عنها أنها قالت: استأذن رجل على رسول الله صلى الله عليه والسلام فقال: (ائذنوا له بئس أخو العشيرة أو ابن العشيرة، فلما دخل ألان له الكلام). قلت: يا رسول الله قلت الذي قلت، ثم ألنت له الكلام؟ قال: (أي عائشة، إن شر الناس من تركه الناس –أو ودعه الناس- اتقاء فحشه) متفق عليه
“Dari sahabat ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia menuturkan: Ada seorang lelaki yang memohon izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliaupun bersabda: “Izinkanlah untuknya, ia adalah seburuk-buruk kerabat ialah dia, maka ketika ia telah masuk, beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) bermanis kata kepadanya.” Akupun bertanya: Wahai Rasulullah, engkau telah mengatakan perkataanmu tadi, kemudian engkau bermanis kata kepadanya? Beliau menjawab: “Wahai ‘Aisyah sesungguhnya manusia paling buruk ialah orang yang dijauhi oleh orang lain karena mereka menghindari kata-katanya yang keji.” (Muttafaqun ‘alaih)
Al Qurthuby mengomentari hadits ini dengan berkata:
في الحديث جواز غيبة المعلن بالفسق أو الفحش ونحو ذلك من الجور في الحكم والدعاء إلى البدعة، مع جواز مداراتهم اتقاء شرهم ما لم يؤد ذلك إلى المداهنة في دين الله تعالى….. والفرق بين المدارة والمداهنة: أن المداراة بذل الدنيا لصلاح الدنيا أو الدين أو هما معا، وهي مباحة وربما استحبت، والمداهنة: ترك الدين لصلاح الدنيا. والنبي صلى الله عليه والسلام إنما بذل له من دنياه حسن عشرته والرفق في مكالمته ومع ذلك فلم يمدحه بقول فلم يناقض قوله فيه فعله.
“Pada hadits ini terdapat petunjuk bolehnya mengghibahi (menyebutkan kesalahan) orang yang menampakkan kefasikan atau perbuatan keji dan yang serupa dengannya berupa tindak kelaliman ketika memutuskan sesuatu, menyeru kepada perbuatan bid’ah. Sebagaimana ada petunjuk bolehnya bersikap mudaraah (mengambil simpati/sikap bijak) kepada mereka, guna menghindari kejahatannya, selama sikap bijak tersebut tidak sampai menjerumuskan kita kepada sikap mudahanah (menjilat) dalam urusan agama Allah Ta’ala. Dan perbedaan antara sikap bijak dan menjilat ialah sikap bijak adalah mengorbankan sebagian kepentingan duniawi demi menjaga kemaslahatan duniawi lainnya atau kemaslahatan agama atau kedua-duanya, dan sikap ini adalah sikap yang dibolehkan, bahkan kadang kala dianjurkan. Sedangkan sikap menjilat adalah mengorbankan urusan agama demi mencapai kepentingan duniawi. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kisah ini hanya mengorbankan dari kepentingan duniawinya untuk orang tersebut berupa sambutan baik dan berlemah lembut ketika berbicara dengannya. Walaupun demikian beliau sama sekali tidak pernah memujinya dengan suatu ucapan apapun, sehingga tidak ada pertentangan antara ucapan beliau pertama dengan sikapnya.”([4])
Diantara dalil yang menunjukkan akan bolehnya menyebutkan kesalahan ahlil bid’ah atau pelaku kemaksiatan demi menjaga kemurnian agama masyarakat ialah kisah sahabat Fathimah binti Qaish ketika meminta nasehat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang siapakah orang yang paling layak menjadi suaminya? Yaitu ketika datang kepadanya (Fathimah binti Qaish) dua orang sahabat yang sama-sama melamarnya, mereka itu adalah: sahabat Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahem bin Huzaifah semoga Allah senantiasa meridhai keduanya. Menjawab pertanyaan sahabat Fathimah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(أما أبو جهم فلا يضع عصاه عن عاتقه وأما معاوية فصعلوك لا مال له. انكحي أسامة بن زيد). رواه مسلم
“Adapun Abu Jahem maka ia tidak pernah menurunkan tongkatnya dari bahunya (suka memukul istrinya), dan adapun Mu’awiyyah maka ia adalah orang yang miskin tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (Muslim)
Bila dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kekurangan sahabat Abu Jahem dan Mu’awiyyah kepada wanita yang mereka lamar, padahal kekurangan tersebut bukan berupa kemaksiatan atau perbuatan bid’ah yang pernah mereka lakukan. Maka ini merupakan dalil nyata dan amat kuat bagi dibolehkannya menyebutkan kesalahan pelamar yang berupa perbuatan kemaksiatan atau bid’ah.
Dan bila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kekurangan keduanya demi kepentingan seorang wanita, maka ini merupakan dalil nyata nan kuat bagi dibolehkannya menyebutkan kemaksiatan atau bid’ah seseorang yang dirasa mengancam kemurnian agama masyarakat luas, sampai-sampai Syeikhul Islam Ibnu taimiyyah menyebutkan bahwa menjelaskan kesesatan ahlul bid’ah dan para penganut paham yang menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah adalah wajib hukumnya, dan ulama’ islam telah menyepakati akan kewajibannya.([5])
Imam An Nawawi rahmimahullah berkata: “Ketahuilah bahwa perbuatan ghibah dibolehkan bila ada tujuan yang dibenarkan secara syari’at dan tidak mungkin untuk dicapai melainkan dengan cara ghibah, tujuan yang dibenarkan itu ada enam hal:…..sebab kelima: bila ia menampakkan dengan terang-terangan kefasikan atau bid’ahnya, misalnya orang yang minum khamer dihapan umum, merampas harta orang, memungut pajak, menarik pungutan terhadap harta orang lain dengan cara lalim, melakukan berbagai kebathilan, maka dibolehkan untuk disebutkan perbuatan yang ia lakukan dengan terang-terang tersebut, dan tidak boleh untuk disebutkan aibnya yang lain, kecuali bila ada sebab lain yang membolehkan untuk disebutkan selain yang telah kami jelaskan.”([6])
Ini adalah sekelumit dalil dan keterangan ulama’ salaf tentang disyari’atkannya tahzir ahlil bid’ah. Dan sekali lagi, bagi yang ingin mendapatkan keterangan lebih luas dan jelas, silahkan membaca kedua kitab yang saya sebutkan di atas.
Dan saya yakin bahwa kebanyakan ikhwah slafiyyin atau yang pernah mengikuti pengajian-pengajian mereka sering dan sudah cukup banyak mendengarkan penjelasan para ustadz tentang hal ini. Oleh karena itu saya rasa, sudah tidak perlu untuk dijabarkan dengan panjang lebar. Akan tetapi yang saya rasa masih amat perlu untuk didudukkan dan dijelaskan kepada masyarakat, ialah permasalahan syarat dan ketentuan-ketentuan yang harus diindahkan dalam menjalankan syari’at ini (mentahzir pelaku kesalahan atau bid’ah). Sebab tidak setiap pelaku kesalahan harus di tahzir dan tidak setiap pelaku bid’ah harus ditahzir. Dengan kata lain: tahzir bukanlah sebuah harga mati atau tujuan, akan tetapi lebih tepat sebagai salah satu sarana ingkarul mungkar, dan upaya prefentif dalam menjaga kemurnian agama masyarakat.
Syarat-syarat disyari’atkannya tahzir:
Sebagaimana telah diketahui dari penjelasan di atas bahwa tahzir adalah salah satu bentuk ingkarul mungkar yang diajarkan dalam syari’at islam, maka sudah barang tentu berbagai persyaratan yang telah dijelaskan oleh ulama’ dalam menjalankan ingkarul mungkar, juga berlaku dalam menjalankan tahzir. Persyaratan tersebut ialah:
- Ikhlas.
Maksudnya, ketika seorang dai hendak menyebutkan kesalahan atau kemaksiatan seseorang, -baik ahli bid’ah atau lainnya yang dirasa akan mengancam kemurnian agama masyarakat- ia benar-benar sadar bahwa maksud dan tujuannya ialah menjalankan kewajiban nasehat kepada umat islam secara umum, agar mereka dapat terhindar dari kesalahan dan bid’ah orang tersebut, serta tidak terperdaya oleh berbagai propaganda pelakunya. Sebagaimana ia juga harus menyingkir jauh-jauh dari niatnya berbagai tujuan lain, baik kepentingan pribadi, dendam, kecemburuan sosial, ikut-ikutan, bumbu ngobrol dll. Karena sesunggunya tujuan-tujuan lain ini tidak dapat menjadikan harga diri pelaku kesalahan atau bid’ah halal untuk dibicarakan atau ditahzir, karena tujuan-tujuan ini tak lain hanyalah kepentingan pribadi, sehingga tindakannya tidak dapat dikatakan sebagai ingkarul mungkar atau nasehat untuk umat.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Kemudian orang yang menjalankan tahzir ahlil bid’ah, yang tindakannya itu ia dasari dengan ilmu, ia harus memiliki niat yang baik. Seandainya ia berbicara atas dasar ilmu, akan tetapi karena ingin berbuat kesombongan di muka bumi, atau kerusakan, maka ia bagaikan orang yang berjihad karena dendam golongan dan karena riya’ (ingin pujian). Dan bila ia berbicara benar-benar karena Allah Ta’ala, penuh dengan ikhlas, maka ia termasuk orang-orang yang berjuang di jalan Allah, penerus para Nabi dan Rasul.”([7])
Dan pada kesempatan lain beliau juga berkata: “Sebagian orang ada yang menyebutkan kesalahan orang, hanya karena ikut-ikutan dengan rekan semajlisnya, atau sahabatnya, atau keluarganya, padahal ia sendiri tahu bahwa orang yang ia bicarakan terlepas dari apa yang mereka sebut-sebut, atau mungkin saja padanya ada sebagian dari apa yang mereka sebut. Akan tetapi ia merasa bahwa seandainya ia mengingkari perilaku kawannya, niscaya sikapnya itu akan mengacaukan jalannya majlis, atau mereka akan marah dan menjauihinya. Oleh karena itu ia beranggapan bahwa ikut-ikutan dengan mereka adalah bagian dari tuntutan dari pergaulan yang baik, dan persahabatn yang mulia. Kadang kala mereka marah, maka iapun jadi marah, karena mengikuti kemerahan mereka, sehingga iapun hanyut bersama mereka.
Dan diantara mereka ada yang mengemas perbuatan ghibahnya dengan berbagai kedok, kadang kala ada yang menampakkannya dalam bentuk kebaikan atau amal shaleh, sehingga ia berkata: Aku tidak biasa untuk menyebutkan seseorang kecuali dengan kebaikan, dan aku tidak suka dengan perbuatan ghibah juga perbuatan dusta, yang aku lakukan hanyalah mengabarkan kepada kalian jati diri orang tersebut, kemudian iapun berkata: Sungguh demi Allah dia itu kasihan sekali, atau orangnya baik, akan tetapi padanya ada hal demikian-demikian. Dan kadang kala ia berkata: Janganlah sebut-sebut dia, semoga Allah mengampuni kita dan dia. Padahal tujuannya hanyalah untuk meremehkan orang tersebut dan melecehkannya. Mereka mengemas perbuatan ghibah dalam bentuk amal shaleh dan perbuatan baik. (Yang terjadi sebenarnya adalah) mereka itu sedang berupaya mengelabuhi Allah, sebagaimana mereka sedang berupaya mengelabuhi manusia……..Dan diantara mereka ada yang mengemas perbuatan ghibahnya dalam bentuk kemarahan, ingkarul mungkar, sehingga dalam permasalahan ini muncul berbagai kata-kata indah nan manis, padahal maksudnya berbeda dengan apa yang ia nampakkan.”([8])
Saya yakin, bila kaum muslimin yang ada di negri kita Indonesia, dan salafiyyin secara khusus sudi untuk sedikit mawas diri, dan kembali mengoreksi niat masng-masing ketika hendak menyebutkan kesalahan dan kekhilafan saudaranya, niscaya kejadian yang terjadi dimasyarakat tidak seperti yang sekarang dikeluhkan oleh banyak pihak. Karena keimanan dan ketakwaan kita masih terlalu rendah dan lemah untuk bisa senantiasa ikhlas dalam setiap perbuatan dan ucapan, apalagi bila berkaitan dengan menyebutkan kesalahan orang yang tidak sepaham dengan kita, atau pernah berseberangan kepentingan dengan kita. Semoga Allah melimpahkan kerahmatan dan maghfirah-Nya kepada kita semua, dan semoga kita dibimbing Allah agar dapat ikhlas dalam setiap ucapan dan sikap yang kita lakukan.
- Kesalahan orang tersebut dilakukan dengan terang-terangan.
Bila pelaku kesalahan atau bid’ah melakukan bid’ahnya dengan sembunyi-sembunyi, maka tidak boleh ditahzir, atau dibongkar kesalahannya dihadapan umum. Karena tahzir adalah salah satu bentuk ingkarul mungkar, dan ingkarul mungkar dengan cara seperti ini tidaklah dilakukan kecuali bila kemungkarannya dilakukan dengan cara terang-terangan.
Imam Al Auza’i berkata: “Dan dahulu ulama’ salaf amat keras ucapannya terhadap ahlul bid’ah, dan hati mereka membencinya, serta mereka senantiasa memperingatkan masyarakat dari bid’ah mereka. Seandainya mereka melakukan bid’ahnya dengan sembunyi-sembunyi, maka tidak boleh bagi siapapun untuk menyingkap tabir yang menutupi mereka, atau menyebarkan aib mereka. Allah-lah yang berhak untuk menghukumi mereka atau mengampuni mereka. Adapun bila mereka telah berterang-terangan dengan bid’ahnya, gencar menyebarkan bid’ahnya, pengikutnyapun telah banyak, maka menebarkan ilmu adalah kehidupan, dan menyampaikan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kerahmatan, yang dengannya kita berlindung dari kejahatan setiap orang yang menyeleweng lagi nekad.”([9])
Ibnu Taimiyyah juga berkata: “Barang siapa yang menampakkan kemungkaran, maka wajib untuk diingkari, dijauhi dan dicela karenanya. Dan inilah maksud dari ucapan ulama’:”Barang siapa telah mencampakkan jilbab rasa malu, maka tidak ada lagi ghibah baginya”, beda halnya dengan orang yang menutup-nutupi dosanya dan ia lakukan dengan bersembunyi, maka orang semacam ini harus ditutupi, akan tetapi tetap harus dinasehati dengan cara tersembunyi, dan hendaknya orang yang kenal dengannya, memboikotnya, hingga ia benar-benar bertaubat, dan perbuatannya tersebut disampaikan (kepada orang yang dapat menasehatainya) dengan cara yang selaras dengan maksud dari nasehat.”([10])
Sebagaimana telah berlalu nukilan dari ucapan Imam An Nawawi yang semakna dengan ucapan kedua ulama’ di atas.
Bila persyaratan ini kita terapkan pada berbagai kasus tahzir yang terjadi di negri kita Indonesia, maka saya rasa masih banyak dari saudara-saudara kita yang kurang mengindahkannya. Sebagai salah satu buktinya, sering kita mendengar ucapan yang terlalu jauh menembus batasan ghaib, sampai-sampai mulai membicarakan tentang niat dan tujuan orang lain. Misalnya ucapan sebagian dari kita yang mensifati sebagian saudaranya dengan ucapan: “menjilat para donatur”, “menggunting dalam lipatan”, hingga tuduhan kepada saudaranya sesama muslim, sebagai seorang munafiq, dan ucapan-ucapan yang serupa.
- Pelaku kesalahan tersebut masih hidup.
Bila pelaku bid’ah atau kesalahan telah meninggal dunia, maka tidak boleh bagi kita untuk mengungkit-ungkit kesalahannya, atau menyebut-nyebut amalan bid’ahnya, atau mencelanya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
(لا تسبوا الأموات فإنهم قد أفضوا إلى ما قدموا) رواه البخاري
“Janganlah kamu mencela orang-orang yang telah meninggal dunia, karena mereka telah mendapatkan balasan apa yang telah mereka kerjakan.” (Bukhari) Hikmahnya ialah, orang yang telah meninggal dunia sudah tidak dikhawatirkan lagi akan dapat merusak agama masyarakat. Oleh karena itu bila seorang pelaku bid’ah meninggalkan kitab atau karya tulis yang dapat dibaca oleh orang lain atau pengikut yang menyebarkan ajarannya, maka kita tetap masih dibolehkan untuk menyebutkan kesalahannya, demi menjaga kemurnian agama masyarakat, dan agar mereka tidak terpengaruh oleh buku-bukunya atau pengikutnya yeng mengajarkan kebid’ahan yang pernah ia ajarkan.
Al Qarafi Al Maliky berkata: “Orang sesat yang telah meninggal dunia, sedangkan ia tidak meninggalkan pengikut yang mengagungkannya, juga tidak kitab-kitab yang dapat dibaca, juga tidak hal lain yang dikhawatirkan akan merusak agama orang lain, maka hendaknya ia ditutup-tutupi (tidak disebut-sebut kesalahannya) sebagaimana Allah Ta’ala telah menutupinya, dan hendaknya tidak pernah lagi disebut-sebut kesalahannya, sedangkan pertanggung jawaban atas amalannya adalah terserah kepada Allah.”([11])
- Jujur dan obyektif ketika menyebutkan kesalahan orang.
Hendaknya ketika menjalankan tahzir, kita senantiasa bersikap adil dan obyektif, sehingga kesalahan yang disebutkan benar-benar ada pada orang yang sedang kita tahzir. Dan hendaknya tidaklah disebutkan kecuali kesalahan yang menjadikan orang lain menjauhinya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
]يأيها الذين آمنوا كونوا قوامين لله شهداء بالقسط ولا يجرمنكم شنآن قوم على ألا تعدلوا اعدلوا هو أقرب للتقوى[ سورة المائدة 8
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada ketakwaan. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al Maidah 8).
Adapun menuduh ahlul bid’ah atau pelaku kesalahan dengan hal yang tidak ada padanya, baik perbuatan bid’ah lainnya atau kesalahan lainnya, maka perilaku ini termasuk perbuatan buhtan/kedustaan, sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
(إن لم يكن في أخيك ما تقول فقد بهته) رواه مسلم
“Bila apa yang engkau sebut tidak ada pada diri saudaramu, maka berarti engkau telah berdusta atas namanya.” (Muslim). Dan perbuatan dusta (buhtan) tidak pernah diizinkan dalam syari’at, baik berkenaan dengan ahlus sunnah ataupun ahlul bid’ah, karena perbuatan ini termasuk kelaliman dan kelaliman adalah perbuatan haram yang tidak pernah diizinkan apalagi dihalalkan, dalam keadaan apapun.
Persyaratan ini adalah salah satu persyaratan yang paling sering dilupakan oleh sebagian dari kita, sehingga sering kali kita mendengar ucapan yang berupa tuduhan kosong: “Fulan menerima dana dari yayasan tertentu, bahkan sampai berenang-renang di lautan dinar” padahal ketika ucapan ini ia ucapkan, ia hanya berdasarkan isu, sehingga ia tidak mampu mendatangkan buktinya. Ada lagi yang berkata: “Kebanyakan mahasiswa Madinah (Jami’ah Islamiyyah) terutama yang masuk program pasca sarjana, berhasil diterima di program tersebut adalah berkat bantuan hizbiyyun, sururiyyun dll”. Padahal saya yakin ini hanya bualan dan mimpi di siang bolong belaka, dan pelakunya tidak akan mampu mendatangkan bukti otentik tentangnya.
Ada lagi yang berkata: “Fulan adalah seorang surury, harus dijauhi, dan tidak boleh ditimba ilmu darinya” atau bahkan: “fulan adalah termasuk da’i yang mengikuti hawa nafsu, karena mengajar di sekolahan tertentu”, akan tetapi ia tidak menyebutkan satu buktipun yang dapat dibenarkan.
Mungkin ada yang berseloroh dan berkata: Ah itu kan hanya terjadi pada beberapa orang saja, dan hanya beberapa kali saja!
Maka jawabannya: kejadian ini bukan hanya sekali, akan tetapi telah terulang berpuluh-puluh kali, dan menimpa berpuluh-puluh da’i.
Untuk sedikit membuktikan kepada pembaca, maka saya merasa perlu untuk mengungkit permasalahan yang telah mulai dikubur oleh para pelakunya, yaitu permasalahan jihad di Ambon, berapa banyak orang yang di tahzir, dan diklaim telah keluar dari manhaj salaf, karena tidak setuju mengatakan bahwa jihad di sana adalah fardhu ‘ain hukumnya? Akan tetapi setelah terbukti bagi para pelakunya, bahwa tindakan mereka tidak selaras dengan fatwa ulama’, termasuk fatwa ulama’ yang mewajibkan jihad di sana, adakah perubahan sikap terhadap da’i-da’i yang telah menjadi korban mereka?! Adakah pelurusan sikap terhadap kesalahan tahzir yang terlanjur mereka kumandangkan!? Adakah pengakuan bahwa tahzir yang di dasari perbedaan pendapat dalam hal jihad tersebut tidak benar? Apa lagi pengakuan bahwa sebagian dari mereka telah berbuat kejahatan besar, yaitu menyembunyikan fakta dan fatwa ulama’ lain yang jelas-jelas menyelisihi apa yang mereka amalkan.
Bukti selanjutnya: Berapa banyak da’i-da’i yang telah menjadi korban tahziran sebagian kita, akan tetapi ternyata di kemudian hari terbukti bahwa yang mentahzir dan yang ditahzir sama-sama tidak paham atau salah paham tentang manhaj ulama’ ahlis sunnah dalam hal tahzir, dan sama-sama hanya berdasarkan isu dan kabar burung.
Diantara buktinya: Betapa banyak ikhwah du’at yang ditahzir karena mereka mengambil dana yang disalurkan oleh sebagian yayasan sosial yang dipermasalahkan oleh sebagian ulama’. Akan tetapi giliran dana tersebut, dan dari sumber yang sama, mengalir kepada dirinya dan kelompoknya, maka ia bungkam seribu bahasa, bahkan bukan hanya dari yayasan islam yang bermasalah, akan tetapi dari dukun sekalipun tidak pernah ia dan para pendukungnya permasalahkan. Mungkinkah manhaj salaf yang mereka anut dan yakini membenarkan standar ganda semacam ini?!
Dan masih banyak lagi kasus-kasus yang telah masyhur di masyarakat.
Dan sudah barang tentu ini adalah amat memilukan bagi seorang da’i yang mengaku bermanhaj salaf, apalagi sampai menobatkan dirinya sebagai ahlil jarh wat ta’dil. La haula wala quwwata illa billah.
ست خصال يعرف بها الجاهل: الغضب في غير شيء والكلام في غير نفع والعظة في غير موضعها وإفشاء السر والثقة بكل أحد ولا يعرف صديقه من عدوه. حلية الأولياء 10/217
“Ada enam perangai, yang dengannya kita dapat mengenali orang bodoh: marah tanpa sebab, berkata-kata yang tidak ada manfaatnya, menyampaikan peringatan tidak pada tempatnya, membocorkan rahasia, senantiasa percaya kepada setiap orang, dan tidak dapat mengenali kawan dari lawannya“.([12])
- Tahzir dilakukan seperlunya.
Telah disampaikan di atas bahwa tujuan tahzir ialah melindungi kemurnian agama masyarakat dari pengaruh bid’ah atau kesalahan seseorang. Maka bila tujuan ini telah tercapai dengan cara menyebutkan sebagian dari kesalahan orang tersebut, dan dengannya masyarakat telah terlindungi, dan tidak ada yang terpengaruh dengannya, maka kita tidak boleh melampaui batasan tersebut, dengan cara menyebut-nyebut kesalahan-kesalahan lain yang tidak dirasa perlu. Sebab Hukum asal menyebutkan kesalahan orang lain ialah haram, karena itu termasuk perbuatan ghibah, akan tetapi dibolehkan karena adanya kepentingan dalam agama atau dunia dan dengan berbagai syarat di atas, maka bila kepentingan ini telah tercapai, maka selebihnya kembali kepada hukum asal yaitu haram. Hal ini berdasarkan kaidah dalam ilmu fiqih:
الضرورات تقدر بقدرها
“Suatu darurat itu harus diukur sesuai dengan kadarnya”.
Dan sikap melampaui batas adalah salah satu hal yang diharamkan dalam syari’at islam, dan dibenci oleh Allah Ta’ala:
]ولا تعتدوا إن الله لا يحب المعتدين[ البقرة 190
Janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al Baqarah 190).
Oleh karena itu Ibnu Taimiyyah berkata: “Hendaknya orang yang menunaikan nasehat itu tujuannya adalah agar Allah memberi petunjuk kepada orang tersebut, dan melindungi kaum muslimin dari gangguannya, baik dalam hal agama ataupun dunia mereka. Dan hendaknya tujuan ini ditempuh melalui jalan termudah yang dapat dilakukan.”([13])
Oleh karena itu kita tidak dapatkan ulama’-ulama’ kita senantiasa membicarakan kesalahan ahlul bid’ah dalam setiap kesempatan dan majlis. Beda halnya dengan sebagian kita yang menjadikan pembicaraan ini sebagai bumbu majlis, dan pengajian, bahkan dengan cara-cara yang jelas-jelas melampaui batas, misalnya dengan melontarkan berbagai julukan-julukan yang tidak ada dasarnya, misal: julukan munafiq, pengkhianat, penjilat, tukang macul dll.
- Permasalahan yang menjadi penyebab ia ditahzir benar-benar kesalahan.
Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa hukum asal ghibah (menyebutkan kesalahan dan kekurangan) orang muslim adalah haram. Dan dibolehkan karena ada kepentingan dalam urusan agama atau dunia serta dengan berbagai syarat diatas. Oleh karena itu hukum asal dari perbuatan ini tidak akan berubah hanya karena kesalah pahaman atau perbedaan pendapat belaka. Atau perbedaan tempat belajar atau guru ngaji atau yang serupa.
Ibnu taimiyyah berkata: “Tidak dibenarkan bagi siapapun untuk menggantungkan pujian, celaan, rasa cinta, kebencian, loyal, permusuhan, doa, dan kutukan dengan selain nama-nama yang telah Allah gantungkan dengannya. Misalnya nama-nama kabilah, kota, mazhab, metode belajar yang dinisbatkan kepada para guru (syeikh) dan imam atau yang serupa yang tujuannya adalah untuk membedakan, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
] يأيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم[ الحجرات 13
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang wanita, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa diantara kamu.” (Al Hujuraat 13). …..Oleh karena itu menyebutkan zaman, nama-nama keturunan, perwalian, negri, menisbatkan diri kepada seorang ulama’ atau syeikh tujuannya hanyalah untuk kenal mengenali, agar ia dapat dibedakan dari lainnya. Adapun pujian, celaan, kecintaan, kebencian, loyal, dan permusuhan, hanya boleh dilakukan karena hal-hal yang telah Allah jelaskan, dan penjelasan Allah adalah kitab-Nya. Sehingga barang siapa yang beriman, maka wajib untu diloyali, dari golongan manapun ia berasal, dan siapapun yang kufur, maka wajib untuk dimusuhi, dari golongan manapun ia berasal.”([14])
Hal ini tentu bertentangan dengan perilaku sebagian da’i yang mentahzir orang lain hanya karena ia berasal dari daerah tertentu, atau dari sekolahan tertentu, atau karena pernah belajar dengan ulama’ tertentu, atau sekolahan tertentu, tanpa melihat fakta dan kenyataan yang ada padanya. Sehingga hal ini membingungkan banyak kalangan, sampai-sampai banyak orang yang mengatakan: sebenarnya antara yang ditahzir dan yang mentahzir tidak ada perbedaan, yang diajarkan juga sama, dan ulama’ yang dijadikan panutan juga sama.
Diantara pengalaman yang pernah saya saksikan sendiri di hadapan Syeikh Muhammad bin Hadi Al Madkhali hafidhahullah, ketika ada beberapa asatidzah salafiyyin yang berkunjung ke rumah beliau, dan hadir pula di majlis tersebut beberapa mahasiswa Jami’ah Islamiyyah termasuk penulis sendiri juga hadir. Ketika Syeikh Muhammad mempertanyakan sebab terjadinya kerenggangan antara asatidzah yang datang dengan beberapa mahasiswa Jami’ah Islamiyyah, maka sebagian dari asatidzah tersebut menjawab: “Wahai syeikh, mereka ini, yaitu para mahasiswa yang masih belajar di Jami’ah Islamiyyah, ketika berlibur ke tanah air, tidak ada yang berkunjung ke rumah saya.” Mendengar jawaban ini, syeikh Muhammad Al Madkhaly terkejut dan bingung, apakah hanya karena permasalahan ziarah-menziarahi, antum saling tahzir dan saling memusuhi? Subhanallah.
Ini adalah salah satu contoh nyata yang pernah saya saksikan sendiri dan langsung dihadapan seorang syeikh salafy. Maka kejadian-kejadian serupa yang tak kalah serunya, saya yakin banyak terjadi, dan diantaranya:
Mungkin sebagian ikhwah ada yang masih ingat bahwa ada sebagian da’i yang ditahzir hanya karena perbedaan pendapat dalam metode menentukan awal bulan dalam islam, apakah harus mengikuti penentuan yang dilakukan oleh pemerintah Saudi Arabia (pendapat satu mathla’/tempat terbitnya bulan), ataukah boleh mengikuti penentuan pemerintah setempat? Padahal yang benar menurut seluruh ulama’ zaman sekarang ialah masing-masing masyarakat suatu negri harus mengikuti keputusan pemerintahnya, agar tidak menimbulkan perpecahan di masyarakat, walaupun menurut sebagian mereka: yang ideal adalah seluruh umat islam di seluruh belahan bumi berpuasa secara serempak dan bersamaan. Untuk membuktikan ucapan ini, silahkan baca Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Kerajaan Saudi Arabia, dan juga Tamamul minnah oleh Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Al Bany.
Yang lebih ironis, sikap membabi buta ini sampai-sampai menjadikan banyak da’i berusaha menutup-nutupi keterangan Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam kitabnya Tamamul minnah, yang menjelaskan kewajiban mengikuti keputusan pemerintah masing-masing.
Dan sebagian da’i ada yang menjadikan tempat belajar/sekolahan sebagai standar dalam mentahzir seseorang. Sehingga sebagian mereka sampai merasa perlu untuk mentahzir Islamic University of Madinah (Al Jami’ah Al Islamiyyah), yaitu dengan menyatakan bahwa Universitas ini telah dikuasai oleh ahlul bid’ah, sehingga sudah tidak layak lagi untuk menimba ilmu di sana. Ini adalah suatu amalan hina yang tidak pernah dilakukan oleh seorang ulama’pun, dan sebagai buktinya, hingga saat ini masih terlalu banyak ulama’ ahlis sunnah yang menjadi dosen dan tenaga pengajar di Universitas ini, sebagai contohnya: Syeikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad, Sholeh As Suhaimy, Muhammad bin Hadi Al Madkhaly, Dr. Ibrahim Ar Ruhaily dll.
Yang lebih ironis lagi bila yang melakukan tahziran ini adalah salah seorang alumni Al Jami’ah Al Islamiyyah itu sendiri, dan tahziran ini ia ucapkan tak lama dari kelulusannya dari Universitas tersebut. Kenyataan pahit ini, menjadikan sebagian orang bertanya-tanya: sebenarnya tahzir itu apa? Apakah benar tahzir itu merupakan tuntutan dan bagian dari dakwah salaf, ataukah hanya sekedar tumbal seorang da’i yang sedang mencari sensasi, seperti dalam pepatah arab: (خالف تعرف/tampillah beda, niscaya engkau akan terkenal).
Dan diantara salah satu bentuk penyelewengan yang pernah terjadi ialah adanya seorang da’i yang mentahzir orang lain, dengan ucapannya: “fulan itu tukang macul (nyangkul)”. Subhanallah, layakkah suatu pekerjaan yang mulia dan halal dijadikan sebagai bahan memperolok-olokan orang lain, bahkan bahan untuk mentahzir seorang da’i?!
Karena kerancuan berfikir sebagian da’i tentang masalah ini, sehingga bila kita membaca daftar ustadz-ustadz yang ditahzir (harus dijauhi dan diwapadai) niscaya kita dapatkan bahwa alasan dimasukkannya mereka kedalam daftar tersebut hanyalah dakwaan: fulan adalah link/jaringan yayasan tertentu, atau berkawan dengan orang tertentu. Seakan-akan kesalahan yayasan tersebut atau orang tersebut merupakan suatu hal yang tidak dapat dipungkiri lagi, bak iblis atau Abu Jahel, atau Jahem bin Shofwan, tokoh ahli bid’ah lainnya, yang nyata-nyata sesat, dan telah disepakati kesesatannya. Ini mengisyaratkan bahwa sebenarnya penulis daftar kelam tersebut kekurangan atau bahkan mungkin tidak memiliki bukti yang autentik tentang kesalahan ustadz-ustadz tersebut (terkecuali sebagian kecil).
Semoga dari sekelumit penjelasan tentang manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah ini, saya mengharapkan para pembaca sedikit mendapatkan kejelasan dan keterangan, sehingga dapat membedakan antara tahzir yang merupakan tuntutan dakwah dari tahzir yang merupakan tumbal sensasi seorang da’i. Dan semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua dan menjaga kita dari pengaruh godaan hawa nafsu dan berbagai fitnah.
اللهم ربَّ جبرائيلَ وميكائيلَ وإسرافيلَ فاطَر السَّماواتِ والأرضِ، عالمَ الغيبِ والشَّهادة، أنتَ تحْكُمُ بين عِبَادِك فيما كانوا فيه يَخْتَلِفُون، اهْدِنَا لِمَا اخْتُلِفَ فيه من الحق بإِذْنِكَ؛ إنَّك تَهْدِي من تَشَاء إلى صراط مستقيم. وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين. والله أعلم بالصَّواب، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين.
“Ya Allah, Tuhan malaikat Jibril, Mikail, Israfil, Dzat Yang telah Menciptakan langit dan bumi, Yang Mengetahui hal yang gaib dan yang nampak, Engkau mengadili antara hamba-hambamu dalam segala yang mereka perselisihkan. Tunjukilah kami –atas izin-Mu- kepada kebenaran dalam setiap hal yang diperselisihkan, sesungguhnya Engkau-lah Yang menunjuki orang yang Engkau kehendaki menuju kepada jalan yang lurus. Shalawat dan salam dari Allah semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya. Dan Allah-lah Yang Lebih Mengetahui kebenaran, dan akhir dari setiap doa kami adalah: “segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam”.
Dr. Muhammad Arifin Baderi
Footnote:
[1] ) Tafsir Ibnu Katsir 3/174-175.
[2] ) Bagi yang ingin mendapatkan kejelasan lebih banyak dan lengkap, silahkan baca keterangan Syeikhul Islam Ibnu taimiyyah dalam Majmu’ fatawa jilid 28, dan kitab Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, oleh Dr Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaily. Dan tulisan saya ini, saya sarikan dari kedua kitab ini.
[3] ) Majmu’ Fatawa oleh Ibnu Taimiyyah 28/219.
[4] ) Dinukilkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 10/454.
[5] ) Lihat Majmu’ fatawa oleh Ibnu Taimiyyah 28/231.
[6] ) Riyadhus Shalihin oleh Imam An Nawawy, 529.
[7] ) Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 28/235.
[8] ) Idem, 28/237-238.
[9] ) Diriwayatkan oleh Ibnu Waddhah dalam kitabnya Al Bida’ wan Nahyu ‘anha, dengan perantaraan kitab Mauqif Ahlis Sunnah, oleh Dr. Ibrahim Ar Ruhaily 2/507.
[10] ) Majmu’ Fatawa oleh Ibnu Taimiyyah 28/220.
[11] ) Al Furuq, oleh Al Qarafy, 4/208.
[12] ) Hilyatul Auliya’, oleh Abu Nu’aim Al Asbahani 10/217.
[13] ) Majmu’ fatawa oleh Ibnu taimiyyah 28/221.
[14] ) Idem, 28/227-228.
Sumber: https://arifinbadri.com
.