Banting-bantingan Harga

Diantara dinamika persaingan para pedagang adalah adanya praktek banting-bantingan harga. Banyak alasan yang mendasari prkatek banting harga, bisa jadi karena mengejar momentum yang tinggal sesaat, semisal yang terjadi pada akhir ramadhan. Bisa pula karena adanya pesaing, dan adanya keinginan untuk menguasai pasar dan menjatuhkan pesaing, dan masih ada alasan lainnya.
Bagi konsumen, praktek semacam ini sangat menguntungkan, karena mereka mendapatkan barang dengan harga yang relatif murah.
Namun bagaimana dengan para pedagang, terutama yang modalnya cekak alias kecil? Tentu praktek banting-bantingan harga semacam ini sangat merugikan dan mengancam eksistensi mereka. Wajar bila praktek semacam ini dilarang dalam Islam, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnul Qayyim pada penggalan ucapan beliau berikut ini :
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangkitamemakan makanan kedua orang yang berlomba-lomba (dalam jamuan tamu atau lainnya) (HR Abu Dawud dan lainnya)
Yang dimaksud dengan kedua orang yang berlomba-lomba pada hadits ini ialah dua orang yang masing-masing dari keduanya berusaha untuk mengungguli kawannya dalam hal donasi. Misalnya keduanya membuat jamuan yang mewah untuk mengungguli jamuan yang disajikan oleh kawannya, ataupun perlomba-lombaan dalam hal jual beli. Masing-masing dari penjual memberikan potongan harga pada barang dagangannya, agar para konsumen tidak membeli dari penjual lainnya.
Imam Ahmad dengan tegas membenci praktek semacam ini, dan membenci konsumen yang membeli dari keduanya.
Larangan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya dua hal:
1) Mencegah masyarakat dari memakan harta kedua orang yang berlomba-lomba tersebut. Karena membeli dagangan atau memakan jamuan mereka dapat menjadikan mereka merasa puas sehingga menjadikan mereka semakin hanyut dan terus menerus dalam perbuatan yang dibenci oleh ALlah dan Rasul-Nya semacam ini..
2) Dengan meninggalkan hidangan keduanya dan tidak membeli dari keduanya maka keduanya akan segera menghentikan perlombaan mereka yang tercela ini. (I’ilamul Muwaqiin 3/206)